Kepakkan Elang (potongan dari kisah yang jauh lebih panjang)

1

“Dalam beberapa hal, kejujuran selalu lebih menyakitkan dibandingkan dengan kebohongan. Bahkan jika itu adalah kebohongan terbesar dalam sejarah umat manusia sekalipun”

 

Seorang teman di kampus saat aku masih mahasiswa baru dulu berkata demikian kepadaku. Tiba-tiba saja ia mengatakannya. Tak ada awal dan tak ada akhir. Namun kata-kata yang diucapkan sambil lalu itu tetap tak bisa kumengerti sepenuhnya. Sampai kini. Bahkan jika kubahas dengan seribu lembar kertas koran sekalipun.

Setidaknya kuanggap kalimat itu sebagai penghibur diri setiap kali aku sengaja berbohong.

 

Namun aku selalu disergap rasa gugup setiap akan mengatakan sesuatu. Karena dunia yang kutinggali begitu penuh dengan tuntutan-tuntutan yang aneh. Kalimat yang kusemburkan selalu saja tidak selaras dengan apa yang kupikirkan.

 

Bertahun-tahun perasan itu melandaku. Aku selalu merasa dikejar-kejar sesuatu yang tak pernah bisa kuajak bicara. Bertahun-tahun. Sungguh sangat menyiksa.

 

Aku pernah berfikir seperti ini. Menonjolkan kelebihan diri tanpa ada perasaan untuk sombong dan mengakui kelemahan diri tanpa ada perasaan lemah diri, bukankah itu sebuah sikap matang dari manusia dewasa? Hal itu kuanggap semacam sikap kukuh dalam hidup.

 

Saat usiaku genap memasuki dua puluh tahun, tanpa kusadari sikap itu semakin melekat dalam keseharianku. Maka segeralah orang-orang mempunyai anggapan salah terhadapku. Sekaligus banyak mengalami pengalaman-pengalaman aneh. Banyak orang tiba-tiba merasa nyaman denganku. Mereka datang dan menceritakan segala hal dari hidupnya yang tak pernah mereka tunjukkan ke orang lain sebelumnya. Berlalu lalang di depanku dan bernyanyi lama-lama kemudian pergi begitu saja seolah-olah sedang melewati sebuah jalan panjang yang sepi. Dengan seperti itulah umur duapuluhku terisi.

 

Sekarang aku ingin menulis. Kalian boleh menyebutnya cerita, coretan atau apapun.

Belum ada satupu kondisi yang memuaskan. Dan mungkin saja memang tak akan pernah berubah sampai tulisan ini berakhir. Bagiku, menulis adalah salah satu upaya dimana aku bisa lebih jujur tanpa terbebani hal-hal yang selalu muncul berhiruk pikuk di pikiranku setiap kali aku ingin berbicara dengan orang lain.

 

Tapi memang harus kuakui, sungguh sulit rasanya untuk bisa bersikap demikian. Tak terkecuai saat aku mulai menulis. Semakin aku berusaha, kalimat-kalimat yang kususun tampak seperti nisan-nisan pekuburan, berjejalan dan acak.

 

Aku tidak sedang melindungi diri. Paling tidak, apa yang kutuliskan di sini adalah yang paling jujur dari sekian hal di kepalaku. Tidak ada yang kulebih-lebihkan. Sekarang aku malah berfikir, Jika semua ini bisa kuselesaikan, mungkin nanti aku bisa bersikap sedikit tenang. Entah itu pada kata-kata terakhir yang kucoret atau beribu-ribu kata di luar tulisan ini. Saat itu, pikiranku akan lebih sejuk dan bisa sedikit menikmati hidupku serta mulai menulis segala hal lebih enteng.

 

***

 

Aku banyak belajar tentang kejujuran dari Jose Mourinho. Mungkin seharusnya aku mengakui bahwa aku berguru kepadanya secara diam-diam. Sayangnya, banyak orang menyebut Mou kontroversial dan lebih pandai berkata-kata ketimbang berbuat. Apabila kau adalah penggila bola dan mau mengikuti berita-berita media yang meliputnya, kau pasti mengerti. Kata-katanya sering membuat merah telinga orang yang dibicarakannya, sikapnya sulit dipahami,  dan banyak yang menyebutnya arogan.

 

Pada konferensi persnya yang pertama saat ia baru menginjakkan kakinya di tanah Inggris, ia berkata, Please, don’t call me arrogant, but I’m european champion and I think I’m a special one. Mungkin karena menyebut dirinya dengan special one itu yang membuat mereka menyebutnya arogan. Namun dialah satu dari sedikit tokoh hebat yang mampu tetap kukuh untuk tidak berpura-pura dalam segala hal dan mampu berperang dengan kata-kata. Kupikir bila disandingkan dengan tokoh hebat semacam Sir Alex Fergusson ataupun Syarkhozy sekalipun, karakter, gaya percaya diri pada kemampuannya dan sikap ambisiusnya sama sekali tidak kalah. Sayangnya, media-media selalu  menajdikannya musuh bersama.

Seperti katanya,

Faktanya tetap demikian bahwa ini adalah perang yang tidak bisa saya menangi karena kalian berjumlah banyak dan saya hanya sendiri. Saya boleh kalah perang tapi tidak dengan pribadi saya, tidak pula dengan kebebasan atau pemikiran saya Saya tidak akan pernah menjadi penjilat. Saya akan tetap pada pendirian walau banyak orang tidak menyukainya.

 

Dia tetap kukuh pada pendiriannya. Dalam bekerja, Ia hanya percaya dengan kemampuannya sendiri. Saat Ia bersitegang degnan pemilik klub  yang dilatihnya saat itu, Roman Abramovich, Ia lebih memilih pergi daripada harus bekerja sementara ada orang yang mendiktenya dalam menyusun strategi.

 

“Unbelievable, but nobody should say unrepeatable”,  katanya.

 

Tak ubahnya saat ia datang, kepergianya pun memancing media-media untuk meliput kontroversialnya.

 

If any other coach cays they are going to be championship, I say: No, you won’t.

***

 

Pertama kali aku mengenal sosok Mou yang dibenci media tapi selalu dicintai oleh para pemain dan staf klub yang dilatihnya ini adalah saat ia masih menjadi manajer FC Porto dari sebuah majalah ternama negeri ini. Tepatnya saat aku kelas 3 SMP.

 

Tiga tahun setelah membelikan majalah itu, ibuku mencapai puncak sakitnya setelah 15 tahun lebih mengidap berbagai macam penyakit dan membuat tangan dan kaki kirinya tak bisa bergerak. Beliau meninggal dengan tenang. Terakhir kali aku melihat wajahnya sebelum dikafani, tampak sesungging senyum di bibirnya. Seperti baru saja meletakkan beban berat yang bertahun-tahun menindih punggungnya. Memang, beban terberat dalam hidup adalah hidup itu sendiri.

 

***

 

Di rumah aku hanya sendirian. Sepeninggal ibuku, adikku yang pertama tinggal bersama neneknya, adikku yang kedua dan paling kecil, oleh ayahku langsung dimasukkan ke pesantren. Sedangkan ayahku tetap merantau untuk bekerja, tak beda seperti sebelumnya.

***

Mou pernah berkata tentang kejujuran dengan sangat mempesona seperti ini. Berbicara secara jujur, kita harus melihat segala hal, bukannya hanya melihat yang akan membuat senang pihak tertentu.

 

***

 

Pada tahun meninggalnya Gusdur, aku mulai memperlakukan sekelilingku dengan sagat terbuka dan tidak mempertimbangkan pihak-pihak tertentu. Sejak itu, sudah 5 tahun berlalu. Dalam 5 tahun aku benar-benar sudah menganggap segala hal adalah sama. Tak ada yang istimewa. Tak beda seperti anak kecil yang memegang martil, menganggap semua disekitarnya adalah paku. Selama lima tahun aku terus berupaya untuk jujur akan segala hal.

 

Aku tak punya seperangkat keyakinan untuk berkata bahwa tindakanku itu benar atau tidak. Aku memang merasa lebih ringan, tapi aku begitu gugup ketika merenungi apalagi yang tersisa dari dunia ini tatkala semuanya tampak begitu telanjang, tak ada lagi hal-hal tersembunyi yang dapat memncing rasa penasaran mungkin tidak ada sepotong benangpun yang melekat di tubuh orang-orang di pasar,

 

“orang-orang harus pandai dalam memilih pakaian mana yang seharusnya ia kenakan”, kata kakekku yang sudah meninggal..

 

***

 

Sekali lagi aku akan bersikap jujur akan segala hal. Ini yang terakhir.

 

Bagiku, kejujuran selalu menjadi hal yang menyakitkan. Aku pernah sengaja melakukan kebohongan dalam sebulan penuh. Pernah pula menyebutkan kebiasaan-kebiasaan burukku kepada teman-temaku selama dua bulan. Tapi akhirnya kejujuran selalu lebih menyakitkan. Aku pernah meyakini bahwa kebohongan juga memiliki dimensi moral yang sama dengan kejujuran. Hanya tanggapan sekitar kita saja lah yang memang akan selalu beragam.

 

Namun, bersikap jujur dalam menulis bisa menjadi pekerjaan yang menggembirakan. Karena menuangkan kejujuran pada lembaran-lembaran kertas itu jauh lebih mudah dibandingkan harus menghadapi dunia.

 

Sedikit yang kusesali adalah aku baru menyadari itu semua ketika aku berusia sekitar 19 tahun. Seandainya bersikap wajar sedikit saja, mungkin aku sudah menjadi dewa. Setelah waktu berlalu, aku curiga kalau itu semua hanyalah perangkap.

 

Aku mulai suka menuliskan segala hal di buku yang khusus kubeli hanya untuk menuangkan hal-hal yang bagiku berarti.

 

Diantara yang kita pikirkan dan mampu kita ucapkan serta kita lakukan terdapat jarak yang begitu lebar. Tak peduli berapa lama jarum jam berputar. Aku hanya bisa menulis semacam diary. Bukan karya sastra. Hanya coretan-coretan tak berbentuk dan tak perlu dicari pesan apa yang dikandungnya.

 

Bila kau mendambakan sastra, sebaiknya kau tanyakan saja pada mereka yang selalu membicarakan penindasan. Kalimat yang kususun hanya sebatas itu. Tak ubahnya seperti pemain sepak bola yang sudah berjam-jam melakukan pemanasan namun tak kunjung dimainkan.

 

2

Aku akan menulis cerita.  Cerita yang kelak menjadi kenang-kenangan. Setidaknya mampu menghibur hari tuaku saat  suatu hari nanti aku merindukan masa-masa muda dulu. Baiklah, ceritaku ini terjadi hanya dalam sepuluh hari di tahun 2009.

 

Sawangan, Depok 23 Januari 2011

Tinggalkan komentar